Monday, March 5, 2012

Menonton "Negeri 5 Menara"

Sudah hampir setahun saya tidak pernah menonton bioskop, lewat di depannya sih sering. Ini adalah kali pertama menonton bioskop bersama istri. Bioskopnya pun terhitung baru: Kalibata XXI. Baru selesai direnovasi.
Kali ini kami menonton Negeri 5 Menara. Bukunya sendiri telah saya lahap habis beberapa tahun yang lalu di kost. Bukunya bukan milik sendiri, punya teman kost. Membacanya pun atas rekomendasi sang empunya buku, yang nota bene aktif di dunia film dan seleranya atas bacaan yang bagus-bagus tidak saya ragukan. Sepuluh menit terduduk di dalam ruang bioskop, saya berusaha kembali mengingat cerita Negeri 5 Menara yang saya baca. Mengingat kembali tokoh-tokohnya, terutama Alif dan orang tuanya, Kiai Rais, dan Baso. Bukan pekerjaan yang rumit, mengingat sehari sebelumnya saya mengintip bukunya yang sedang dibaca oleh istri saya.

Film ini dibuka dengan sangat baik, percakapan antara Alif dan Randai, yang dihadirkan bergantian dengan perbincangan antara kedua orang tua Alif. Cerita pembuka yang sangat realistis, menurut saya, memberikan gambaran bahwa sering kali rencana anak dengan orang tua mengenai pendidikan dapat sangat berbeda. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan konflik antara Alif dan kedua orang tuanya. Konflik tersebut berakhir dengan penerimaan Alif akan keputusan orang tuanya.
Cerita berlanjut dengan kehidupan Alif di dalam Pondok Madani, "sekolah" pilihan kedua orang tuanya. Di sana ia bertemu dengan teman-teman satu angkatan yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Kehidupan di dalam pondok, yang nota bene adalah sebuah asrama, penuh dengan berbagai kejadian-kejadian lucu dan mengharukan.
Apabila dibandingkan dengan bukunya, film Negeri 5 Menara terasa sangat cepat. Kisah-kisah yang dihadirkan, terutama kehidupan di dalam pondok, terasa disajikan sambil lalu saja. Bagi saya, hampir tidak ada kisah yang meninggalkan kesan mendalam. Semuanya disampaikan dengan cepat tanpa memberi kesempatan bagi para penonton untuk meresapi. Memang nampaknya sulit untuk melakukannya, mengingat ada begitu banyak kisah yang terdapat di dalam bukunya. Sulit bagi pembuat film ini untuk memilih kisah mana yang patut untuk dihadirkan. Menghadirkan semua kisahnya dengan cepat nampaknya adalah pilihan yang diambil.
Satu hal yang teramat sayang bagi saya adalah pengaplikasian makna "mantra" Man Jadda Wa Jadda di dalam film ini. Jika di dalam bukunya sangat terasa bagaimana Alif dan rekan-rekan sepondok berjuang keras dalam belajar, di film ini yang tergambarkan justru perjuangan mereka dalam menyiasati berbagai permasalahan yang mereka temui di dalam pondok. Penerjemahan atas "mantra" Man Jadda Wa Jadda seperti yang dilakukan di dalam film Negeri 5 Menara membuat film ini hanya menjadi hiburan semata tanpa ada muatan pendidikan yang berarti. Kalau pun bukan hiburan, film ini hanya menjadi ajang reuni memori bagi mereka yang pernah merasakan tinggal di dalam pondok maupun asrama.
Pemilihan fokus memang sepenuhnya ada di tangan pembuat film. Fokus manapun yang dipilih, menurut saya, tetap akan mewakili kisah yang ada di bukunya. Akan tetapi, film Negeri 5 Menara  hanya menjadi susunan kronologis kehidupan Alif di dalam pondok. Kualitas Man Jadda Wa Jadda yang sesungguhnya tidak digambarkan dengan baik. Konflik diri yang terjadi pada Alif adalah pada perjuangannya memilih untuk terus atau keluar dari pondok, hal itulah yang tiadk tergambarkan dengan baik. Bagaimana Alif meresapi dengan benar "mantra" tersebut hampir tidak tergambarkan.
Satu pesan yang menurut saya sangat penting untuk para penonton (dan juga para pembaca buku) Negeri 5 Menara dinyatakan dengan lantang oleh Said, "Jangan gunakan Man Jadda Wa Jadda sembarangan!". Sayangnya, itupun disampaikan sambil lalu dalam film ini.

No comments:

Post a Comment