Monday, August 25, 2008

Yang Katanya sih Peyot

Sejenak gue tertidur di kabin tengah mobil panther milik Bang Pe. Saat itu kami melaju ke kota Bogor, kota yang membongkar-pasang otak gue selama 3 tahun lebih. Gue tertidur begitu mobil dipacu keluar dari rumahnya Bang Pe. Entah mengapa kantuk datang menyergap tiba-tiba.. mungkin perasaan malas atau memang gue kurang tidur.
Mungkin ada 20 menit gue tidur. Sebuah lubang di tengah jalan membuat gue terbangun. Anehnya Dexon dan Lia tetap merem dengan tenang, ga tahu apakah mereka masih tidur atau sebenarnya sudah bangun tapi gengsi aja untuk bangun. Sedangkan Bang Pe masih tetap setia melek dengan tatapan tajam di belakang kemudi. Sebenarnya gue tahu, dari tatapan tajamnya itu keliatan bahwa dia juga ngantuk sejadi-jadinya.
Dugaan gue terbukti. Begitu melewati pintu tol, Bang Pe langsung membuka jendelanya dan mengambil sebatang rokok favoritnya: Sampoerna Hijau. Lalu.. cress! Korek gas pun menyala di tangan kirinya, dan segera rokok itu pun disulutnya. Gue ga mau kalah. Sebatang Djarum Black Tea gue nyalain. Kami pun ngobrol. Dexon dan Lia tetap merem. Gue ga tega ama diri sendiri bilang mereka tetap tidur.. ini cuma sekadar ga yakin aja.
Dua belas menit uda lewat. Rokok gue uda abis. Sedangkan Bang Pe masih tetap asik dengan miliknya. Setengah aja belum abis. Lama amat tuh kretek! Obrolan kami sudah terhenti sebelum rokok gue abis. Gue malas ngobrol, sedangkan Bang Pe milih untuk konsentrasi ke jalan sambil membagi perhatiannya ke rokok. Yah, gue menghargai pilihannya lah.
Malas dengan panorama Sentul yang ga ada indah-indahnya, gue memperhatikan Bang Pe dan rokoknya. Entah sudah berapa lama mereka berafiliasi. Mungkin aja sejak Sampoerna Hijau tercipta, mengingat Bang Pe pastinya uda tercipta duluan.... sangat-sangat lama sebelumnya. Gue ga bisa ingat rokok dia sebelumnya, yang pasti sih bukan rokok putih.
Bang Pe dan Sampoerna Hijau. Dua merek yang gue rasa berafiliasi dengan sempurnanya. Dua-duanya punya kesamaan: Ga Ada LU Ga Rame!

Gue kenal pertama kali ama Bang Pe di akhir tahun 2002. Tepatnya waktu gue ikut advanced psycamp untuk pertama kalinya. Bapak yang satu ini tiba-tiba aja datang waktu kami baru mau mulai sarapan di hari kedua. Dexon sebagai pj advanced saat itu langsung memperkenalkan dia ke anak-anak. Lalu ikutlah dia sarapan dengan kami. Sewaktu kami mulai kerja, tiba-tiba aja dia menghilang. Bayangannya ga nampak, baunya ga kecium. Waktu kami break snack siang, tiba-tiba aja dia muncul. Beneran orang bukan sih dia? ...yah, kira-kira begitu sih pertanyaan yang melintas di pikiran gue saat itu. Dia tetap di campsite hingga sore. Duduk-duduk menceritakan pengalamannya sambil membantu Barli ngajarin gue membersihkan dan menyalakan lampu badai serta petromak. [Petromak tuh apaan? Lu tanya deh sama tukang nasi goreng yang nongkrong di kober.] Malamnya, dia menghilang lagi. Kali ini untungnya sebelum kami mulai makan.. jatah nasi lewat tetap utuh.

Pikiran gue teralih karena Bang Pe memantik kembali korek untuk menyulut rokoknya yang mati karena terlalu lama tidak dihisap. Pantes aja ga abis-abis. Tuh rokok punya sistem hibernasi yang segera aktif kalau dia tidak dihisap secara konsisten. Sial!

Selepas advanced, gue sering melihatnya di kampus, tepatnya di kantin gedung E. Tahun 2003 gue gabung dengan tim yang mempersiapkan alat tes buat calon TKI. Bang Pe salah satu pentolannya. Alhasil nyaris tiap hari gue ketemu ama bapak itu.
Dari frekuensi pertemuan tatap muka yang intens, gue bisa tahu sosok Bang Pe lebih jauh. Namun, penambahan pengetahuan gue itu kayaknya ga sebanding dengan penambahan pengetahuan dia tentang gue. Walau matanya sering tampak sayu kayak orang beler, observasinya kenceng dan dalam banget. Satu gerakan berarti banyak buat dia. Kerennya lagi, tindakannya itu selalu bisa ia balut rapi dengan cerita-cerita dan becandaan yang bikin orang ga curiga kalau lagi diobservasi. Yah, walaupun harus gue akui becandaannya itu garing sepsiko-psikonya. Hal itu juga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya tetap duduk betah ngedengerin ceritanya yang mirip dongeng karena nyaris ga bisa dilacak tahun kejadiannya.

CRESSS...!! Sebatang Black Tea gue sulut lagi. Rokoknya Bang Pe sudah habis.

Tahun makin bertambah. Pertemuan gue ama Bang Pe isinya makin bervariasi. Mulai dari survey tempat buat outbound, makan-makan, nengok anaknya, ngabisin es krim di ruang rapat klien, ngobrol di kantin atau kontrakan anak-anak, hingga bengong di kantin mandangin mahasiswi baru yang bening.
Namun memang benar, manusia tuh ga akan ada yang sempurna. Tuh bapak kadang ngeselin juga. Kadang dengan seenaknya ninggalin anak-anak kerja sendirian tanpa arahan yang jelas. Yaaaa, memang sih anak-anak uda punya kapabilitas untuk ngelarin tuh kerjaan-kerjaan, tapi bukan berarti dia bisa lepas tangan trus ngasong ke tempat-tempat lain. Untungnya dia Bang Pe, orang yang segala ekspresi bisa lu tumpahin dengan bebas ke mukanya. Mau senang, sedih, ampe marah pun bebas-bebas aja, dengan catatan dia tahu alasan lu. Malahan kalau tuh ekspresi lu tahan-tahan dan berharap dia bisa membacanya, lu bakal sakit hati sendirian lantaran bakal dicuekin ama Bang Pe. Mending dimuntahin aja sekalian.
Banyak belajar lah gue dari bapak satu anak ini [juga satu istri, tapi banyak penggemar dan mantan gebetan]. Belajar bagaimana dekat dengan wanita.. eh, salah! Belajar bagaimana mengamati orang trus memaksimalkan potensinya hingga akhirnya bisa memanfaatkan potensinya itu demi kebaikan bersama.

Pintu tol Bogor sudah kami lewati 10 menitan yang lalu. Gue uda ga bisa melacak lagi di mana kami berada. Sebagai orang yang pernah menghuni Kota Hujan, gue sebenarnya malu dengan keadaan itu. Tidak berapa lama kemudian, tibalah kami di sebuah rumah yang tampilannya bikin gue kangen ama 'rumah' gue di kota itu: atapnya dan jendelanya gede... bikin udara dingin dengan leluasa masuk berkeliaran.
Begitu masuk di rumah itu, Bang Pe langsung menaruh tas kecilnya lalu... CRESS!!!!! Sampoerna Hijau disulutnya lagi.

No comments:

Post a Comment