Saturday, October 25, 2008

Pengganti UTS Filsafat

1.      Sebutkan beberapa karakteristik dari ”empirisme” dalam sains yang membedakannya dari non sains.


 


Sains [atau ilmu pengetahuan] memiliki pengertian sebagai sebuah usaha untuk memahami fenomena alam yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemudian dapat menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan fenomena tersebut—baik penyebab maupun yang disebabkannya—sehingga bisa digunakan juga untuk memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari.


Salah satu tokoh filsafat ilmu pengetahuan, yaitu Karl Popper, mengatakan bahwa sains adalah segala sesuatu yang bersifat empiris. Apabila mengacu kepada pendapat Popper tersebut, saya berpendapat bahwa, dengan sifat empirisnya, sains memiliki karakteristik sebagai berikut:


1. Tabula rasa, dalam artian bahwa pemerolehan pengetahuan dalam sains diawali tanpa ada praduga apapun sebelumnya [tabula rasa: blank sate].


2. Pengetahuan di salam sains diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman yang dimaksud di sini mengacu kepada pengalaman inderawi, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan dalam sains merupakan hasil dari observasi maupun eksperimen terhadap suatu gejala maupun fenomena alam yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.


3. Untuk gejala maupun fenomena yang tidak dapat diobservasi, pengetahuan yang diperoleh merupakan hasil dari uji falsifikasi terhadap opini atau pendapat yang ada terhadap fenomena tersebut.


4. Merupakan pola umum dari pengalaman manusia. Pengetahuan di dalam sains merupakan penjelasan mengenai law of nature, pola umum dari pengalaman manusia terhadap fenomena tertentu, sehingga kemudian dapat digunakan untuk memprediksi fenomena yang serupa di kemudian hari.


5. Memiliki objektivitas ilmiah, dalam artian bahwa dalam sains ada pemisahan yang jelas antara fakta dengan opini, antara hal yang bisa diuji kebenarannya dengan hal-hal atau nilai-nilai yang bersifat subjektif.


 


 


2.      Apa maksudnya metode eksplanasi (explanation = erklaren) dan apakah perbedaannya dengan metode pemahaman (understanding = vertehen)?


 


Metode eksplanasi merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan jawaban atau penjelasan yang memuaskan dari pertanyaan ’mengapa’. Dalam menjelaskan suatu fenomena, metode ini menggunakan pendekatan deduktif, yaitu berangkat dari fakta-fakta spesifik untuk kemudian menghasilkan kesimpulan yang umum. Contohnya, baju Lucky basah karena terkena hujan. Kesimpulan ini diperoleh setelah ada fakta bahwa hari itu Lucky terguyur hujan, sedangkan kita semua tahu bahwa hujan di Indonesia berupa air, dan benda yang terkena air pasti basah—kecuali jika ada lapisan lilinnya, sedangkan baju Lucky tidak ada lapisan lilinnya: jadi wajarlah bila baju Lucky basah karena terguyur hujan.


Dalam teorinya, covering law of model explanation, Hempel menegaskan bahwa argumen yang terdapat pada suatu penjelasan ilmiah haruslah memiliki struktur yang logis, yaitu terdiri atas premis-premis dan konklusi yang memiliki relasi satu sama lain. Yang perlu untuk diingat adalah bahwa premis-premis tersbeut haruslah terbukti kebenarannya, dan setidaknya salah satu di antara mereka adalah teori/hukum yang berlaku secara umum. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam metode eksplanasi, pengetahuan diperoleh melalui usaha menjelaskan peristiwa tertentu dengan menggunakan teori yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.


Berbeda dengan metode eksplanasi yang berusaha menjelaskan suatu peristiwa dengan menggunakan fenomena alam yang berlaku secara umum, metode pemahaman berusaha menjelaskannya dengan menggunakan sudut pandang si subjek. Dalam contoh yang sama, yaitu baju Lucky basah karena terkena hujan, dengan menggunakan metode pemahaman [ingat: ini hanya untuk contoh] kita pertama kali berusaha untuk mengetahui pengalaman individual Lucky dengan hujan; setelah diwawancarai, diketahui bahwa ternyata Lucky adalah individu yang sangat senang berhujan-hujan;  maka sebagai hasilnya tidaklah heran jika kemudian kita menemukan Lucky dengan bajunya yang basah ketika hari sedang hujan.


 


 


3.      Kita sudah membahas ”lingkaran empiris” sebagai satu ’metode’ untuk merancang penelitian. Coba berikan penerapan dari metode itu dalam ’kasus’ yang diangkat dari bidang ilmu psikologi terapan.


 


Sebagaimana diketahui, segala sesuatu yang bersifat empiris menekankan pengalaman inderawi. Dengan kata lain, observasi menjadi langkah awalnya. Begitu pula dalam ’lingkaran empiris’ yang digunakan sebagai salah satu metode dalam merancang penelitian. Ketika menggunakan metode tersebut, kita mengawali penelitian dari observasi, dengan kata lain penelitian disusun atas hasil observasi terhadap suatu peristiwa. Baru kemudian, dengan dibantu teori-teori yang berkaitan, dibangunlah sebuah hipotesa mengenai peristiwa tersebut. Hipotesa itu kemudian diuji kebenaranya, baik melalui observasi maupun eksperimen, untuk memperoleh penjelasan mengenai peristiwa yang bersangkutan.


Contohnya: atlit yang dengan mudah menang jika bertanding di kandang sendiri [pertandingan kandang] namun dengan mudah pula kalah jika bertanding di kandang lawan [pertandingan tandang]. Mengenai peristiwa ini ada teori ”Social Facilitation” yang kurang lebih menyatakan bahwa dukungan dari significant others, baik itu keluarga, teman, maupun suporter mampu membangkitkan semangat seseorang untuk memberikan penampilan yang terbaik. Hal ini kemudian dicoba untuk dibuktikan, apakah memang benar social facilitation terjadi pada atlit. Pembuktian tersebut dilakukan dengan dua membagi sekumpulan atlit ke dalam 2 kelompok. Keduanya melakukan pertandingan 2 kali, kandang dan tandang. Kelompok yang pertama melakukan kedua pertandingan tersebut tanpa ada suporter, sedangkan kelompok yang kedua dengan adanya suporter. Dari uji coba tersebut diperoleh hasil bahwa kelompok atlit yang pertama kalah dalam kedua pertandingannya, sedangkan kelompok atlit yang kedua memperoleh kemenangan untuk kedua pertandingan yang dilakukannya. Dari hasil uji coba tersebut diperoleh kesimpulan bahwa social facilitation terjadi pada atlit.


 


 


4.      Jelaskan pikiran utama dari positivisme dan kritik Karl Popper terhadapnya.


 


Positivisme merupakan cabang ilmu filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan disusun berdasarkan data empiris—diperoleh dari pengalaman inderawi. Dari sudut pandang pemikiran positivisme, ilmu pengetahuan bisa baru diperoleh apabila pengujian terhadap hipotesa maupun teorinya dilakukan melalui metode ilmiah yang terstandardisasi. Dengan demikian, segala hal yang masih bersifat spekulasi ditolak untuk disebut ilmu pengetahuan.


Jika dilihat lebih lanjut, sudut pandang positivisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya berawal dan berakhir pada data. Sebuah hipotesa bisa dibangun apabila ada data, yang tentunya merupakan hasil dari pengalaman inderawi—observasi, misalnya. Kemudian hipotesa itu diuji, yang kemudian menghasilkan data baru sebagai kesimpulan yang  lalu bisa dijadikan teori baru. Pemikiran inilah yang dikritik oleh Karl Popper. Dia berpendapat bahwa titik berat ilmu pengetahuan bukanlah terletak pada data yang terkait di dalamnya, melainkan pada proposisi-proposisi ilmiah di dalamnya.


Keterikatan pemikiran positivisme pada data empiris menyebabkannya memiliki sifat induktif dalam proses penyimpulan. Penyimpulan secara induktif, menurut Popper, kuranglah tepat untuk dijadikan sebagai patokan proses pemerolehan ilmu pengetahuan. Kesimpulan bahwa ‘semua gula rasanya manis’ tidaklah tepat jika dihasilkan karena setiap merk gula yang kita temui memiliki rasa manis, sebab hanya mengandalkan data empiris. Mengacu kepada Popper, kesimpulan tersebut akan dapat digagalkan apabila suatu ketika ditemukan SATU merk gula yang rasanya tidak manis. Oleh karena itu, suatu kesimpulan bisa diperoleh apabila hipotesa yang ada di belakangnya tidak terbukti salah—bukan semata-mata karena hipotesa itu didukung oleh data empiris atau fakta yang terjadi di lapangan. Metode pengujian tersebut dikenal dengan sebutan metode falsifikasi, yaitu mencoba membuktikan kebenaran suatu hipotesa dengan cara membuktikan kesalahannya. Apabila kesalahannya tidak terbukti, maka hipotesa tersebut benar.


Berdasarkan penjelasan di atas, saya bisa berpendapat bahwa Popper tidak menolak pemikiran positivisme bahwa ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman empiris, yang ditolaknya adalah pola pemikiran positivisme yang terlalu induktivistik.


 


 


5.      Jelaskan pikiran Carl Hempel dan bagaimana dia menjelaskan tugas ilmu pengetahuan dan langkah-langkah yang diambil dalam proses menjelaskan ’explanandum’.


 


Menurut fungsinya yang utama, ilmu pengetahuan bertugas memberikan penjelasan atas fenomena yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Hal itulah yang kemudian melandasi pemikiran Carl Hempel. Ia berpendapat bahwa berdasarkan fungsinya, ilmu pengetahuan bertanggung jawab dalam memberikan penjelasan ilmiah, atau dengan kata lain menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ‘mengapa’.


Menurut Hempel, suatu jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ akan baru bisa disebut sebagai penjelasan ilmiah apabila ia memiliki struktur yang logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas premis-premis dan kesimpulan yang memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada di dalamnya merupakan fenomena yang perlu dijelaskan [explanandum], sedangkan premis-premisnya adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan tersebut [explanans].


Dalam menjelaskan explanandum, Hempel menjelaskan, ada tiga langkah yang harus dipatuhi:




  1. Menyusun sebuah argumen deduktif, yang terdiri dari premis-premis yang diikuti oleh kesimpulan;

  2. Memastikan bahwa semua premis tersebut benar adanya;

  3. Memastikan bahwa setidaknya salah satu dari premis-premis tersebut merupakan teori/hukum yang berlaku secara umum, general law.


Dari penjelasannya di atas, terlihat bahwa suatu fenomena dapat dijelaskan dengan menyelidiki hukum umum yang berkaitan dengannya. Alasan inilah yang menyebabkan mengapa pemikiran Carl Popper mengenai ilmu pengetahuan dikenal dengan sebutan “Covering Law of Modeling Explanation”. 


 


 


6.      Apa itu......


a.      metode falsifikasi


 


Metode falsifikasi merupakan metode yang digunakan untuk membuktikan kesahihan suatu teori dengan cara mencoba membuktikan kesalahan dari teori tersebut. Misalkan ada teori yang mengatakan bahwa semua bola itu bulat; untuk membuktikan kesahihannya dengan metode falsifikasi adalah dengan cara mencari bola yang tidak bulat, apabila ditemukan ada SATU bola yang tidak bulat maka teori tersebut tidak benar, begitu pula sebaliknya.


 


 


b.      Verifikasi


 


Verifikasi merupakan metode pembuktian terhadap suatu teori yang dilakukan dengan cara membandingkannya dengan fakta empiris. Misalnya, kita menyimpulkan bahwa es itu dingin karena, hingga detik ini, setiap kali kita memegang es, telapak tangan kita kedinginan.


 


 


c.       ’context of justification’


 


Frase context of justification mengacu kepada penekanan tujuan dari proses pengujian terhadap suatu hipotesa maupun teori yang ada. Berbeda dengan context of discovery yang mengacu kepada proses pembentukan suatu hipotesa maupun teori, context of justification tidak pernah peduli bagaimana hipotesa maupun teori tersebut terbentuk sebab hal tersebut bisa terjadi melalui berbagai cara sehingga sifatnya lebih subjektif. Context of justification, yang menjadi penekanan kaum positivistik, lebih peduli kepada proses pengujian terhadap hipotesa atau teori itu, sebab dengan begitulah suatu ilmu pengetahuan bisa dipastikan ke-objektif-an dan ke-rasionalitas-an-nya.


 

No comments:

Post a Comment